Hai Sahabat bospedia.com? bagaimana udah memasuki semester tua ya, nah kali ini admin bospedia akan berbagi skripsi, kemaren kemaren admin sudah berbagi soal soal ujian untuk SD,SMP,SMA dan SMA kali ini ke jenjang lebih lanjut. Admin ingin berbagi skripsi tentang Administrasi Negara yang berjudul "ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH". Gak perlu kawatir, admin akan membagikan nih skripsi secara full text. Mulai dari BAB I, II, III, IV, dan V. Silahkan di unduh yaa.. Semoga bermanfaat..
Full Text - Skripsi Administrasi Negara "ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH" |
ABSTRAK
Penelitian ini bertjuan untuk mengetahui kinerja birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan tingkat efesiensi organisasi, kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan, serta faktor pendukung dan penghambat kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone.
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan pegawai dinas pendidikan kabupaten bone sebanyak 109 orang, selanjutnya dilakukan penarikan sampel sebanyak 49 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja birokrasi berada taraf baik. Hal ini terutama terlihat pada semua variabel penelitian, yakni, efesiensi, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Faktor pendukung kinerja birokrasi antara lain; tingkat kerjasama yang solid, hubungan vertical dan horizontal yang harmonis, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat yang cukup memadai. Faktor penghambat antara lain, alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah, kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai, pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik, inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; dan jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan.
Implikasi yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini seperti berikut; (1) perlu rasionalisasi pegawai dan penataan struktur organisasi dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, (2) Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik
ABSTRACT
This aim of this research was to know the performance of the bureaucracy, particularly that related to the organization efficiency level, team work, and superior-staff working relations and also bureaucracy performance resistor and supplementary factor at in the case of the on Duty Education in Bone Regency.
This research population is overall of officer on duty education of Bone Regency bay 109 people, hereinafter done withdrawal of sample by 49 people
The result of the research showed that the performance of the bureaucracy good level. Particularly, the variables of efficiency, team work, superior-staff working relations good levels. Inter alia bureaucracy performance supplementary factor; level of cooperation which solid, the relation of vertical and horizontal harmonious, and also support from enough public and government adequate. inter alia resistor factor, Budget allocation for development of low relative officer, lack of initiative from on duty to compile development program of officer, pattern of development of officer in this time still hardly centralistic, officer initiative for self evolving still be low; and job region reach on duty which area compared with amount of the owned officers, causing complicate controller
The policy implications which were recommended in this research were (1) to rationalize employees and to restructure of the organization of the education office; and (2) to improve the management of the bureaucracy of organization, which so far objectives, goals, and strategic in order to have a government bureaucracy with high level of performance in its public service.
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi ilmu
administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang
mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas
Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a)
dikhotami politik administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi
negara, (c) paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi
negara sebagai ilmu administrasi, dan
(e) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara
sampai pada tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara
berkembang menjadi paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997).
Dalam paradigma ini peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang
sangatlah besar. Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi
pembangunan dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan
kebijaksanaan, implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya
dilakukan oleh pemerintah.
Studi yang dilakukan oleh David Osborne
dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah tidaklah cukup
mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor
publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk membiayai kegiatan
sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur swasta, masyarakat dan
kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan sektor publik merupakan
pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, pemberdayaan masyarakat
itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan
sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah yang terlibat dalam proses
pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan masyarakat dan LSM merupakan tiga
pilar utama yang harus berperan aktif dalam melakukan proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah yang utama
adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen
pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang
dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan
secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih
dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun
untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan
sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut Abdullah
(1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja birokrasi
pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang memiliki
kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang meliputi : (a)
organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan tangguh; (b)
sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien; dan (c) susunan
aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi profesional,
orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa
kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan dan
evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat
ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia,
aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan tajam tentang kinerja birokrasi
dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual dalam studi
administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja
birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain munculnya konsep
privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya ingin meminimalkan
campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan publik (Savas,
1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh Savas (1983),
LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam
menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh
pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa
tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan
adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih terdapat
keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat
mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila ada
pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor
Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya ramah,
suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota warga
masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang
terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui oleh
Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung
dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu
pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala
ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang
berkembang.
Penilaian kinerja birokrat pemerintah
selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti jumlah
pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan petunjuk
teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau outcomes-nya,
misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan manfaat pelayanan
yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek penyelenggaraan
pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan antara
kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari
(actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan sumber
daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya (LAN Jawa
Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan
bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model birokrat
sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan
justru sebaliknya aparat yang harus melayani masyarakat. Hal ini terjadi
karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan ketimbang keberadaan
aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan
bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya
sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban
masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur negara
(birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai penyandang
dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan peran
sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi
masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang
melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan
meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan
hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus
lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan
publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi yang dilakukan LAN
Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat terhadap masyarakat/
dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini
dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparatur
mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut,
sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan
aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat bagi tumbuhnya daya
asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasi ada
empat faktor besar yang menghambat
efisiensi administrasi negara (birokrasi), yaitu : (1) kecenderungan
membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur maupun luasnya campur tangan
terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya kemampuan manajemen pembangunan
baik dalam perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan, dan (3)
rendahnya produktivitas pegawai negeri. Sementara Siagian (1987),
mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai negeri
(birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial, yaitu kurangnya kemampuan
memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan mengambila keputusan,
(2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk secara terampil melakukan
tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang bersifat pembangunan, dan
(3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan
hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan Sulawesi Selatan
(2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana pembangunan masih
rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi yang mendukung
berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang jabatan fungsional
perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap jabatan tersebut
sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri masih rendah. Studi
lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat dari tingkat
pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja terbukti
rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM pada
kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok menemukan
bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam
menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi;
juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan
dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi empiris lain yang berkaitan dengan
kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses misalnya
penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang prestasi
kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor Setwilda
Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997), suatu
analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai
pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa penelitian empiris di atas baik
yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan akademik
menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari
sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya berkaitan dengan
analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat secara
komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini menunjukkan bahwa kerja
birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian yang
mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan yang dilakukan
oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik dikaji terutama yang
berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi, pengendalian dan evaluasi
melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping itu pula pelayanan pendidikan ini
menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk mengevaluasi
dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama
memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja,
kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini
penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang
diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya
kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat
meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan
keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator
kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana
kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi
organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas
Pendidikan di Kabupaten Bone ?
- Faktor apa
yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya
berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan
dengan bawahan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi
pemerintahan khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim,
dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung
dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan
efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus
pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
D.
Manfaat Penelitian
- Secara
akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja
birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
- Secara
metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja
birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan
proses.
- Secara
praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja
instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam
menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa
datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.
Administrasi Pembangunan dan Reformasi
Administrasi
Seperti yang diakui oleh Kristiadi (1994)
bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah satu paradigma
admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu administrasi
negara sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu dari kerangka
perkembangan administrasi pembangunan seperti tersebut di atas, Kristiadi
memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan adalah ”Administrasi Negara
yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan pembaharuan serta
penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga merupakan pendukung
perencanaan dan implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi oleh
negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi dalam
menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi
pembangunan yang berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki
perbedaan ruang lingkup dan karakteristik dengan negara-negara yang telah maju.
Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan bahwa administrasi
pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan kebijaksanaan penyempurnaan
administrasi negara yang meliputi: upaya penyempurnaan organisasi, pembinaan
lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan pengurusan sarana-sarana administrasi
lainnya. Ini disebut the
development of administration (pembangunan administrasi), yang kemudian
lebih dikenal dengan istilah “Administrative
Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-programa pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara
efektif. Ini disebut the administration
of development (Administrasi untuk pembangunan). Administrasi untuk
pembangunan (the development of administration) dapat dibagi atas dua; yaitu;
(a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan
pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan pembangunan
tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan pemerintahan saja. Faktor yang lebih
penting adalah membangun partisipasi masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas bahwa
administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok diterapkan di
negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo membedakan
bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian terhadap
lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru
berkembang. Sedangkan administrasi pembangunan berperan aktif dan
berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan dalam ilmu
administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong
perubahan-perubahan kearah ke keadaan yang lebih baik dan berorientasi mada
depan, sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada pelaksanaan
kegiatan secara efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada
pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan merumuskan kebijakan
pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada
tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Administrasi
pembangunan mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan
pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan diberbagai bidang, Ilmu administrasi
negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur administrasinya
sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan penggeraka
perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi pembangunan
berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah sedangkan pada
administrasi negara lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau pembaharuan
administrasi dilakukan karena ketidakmampuan administratif untuk melaksanakan
fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan Heady (1995), menemukan
lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang, yaitu: (1)
pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan (imitative)
daripada asli (indigenous), (2) birokrasi di negara berkembang kekurangan
(difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan.
Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang justru kurang
adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen, keterampilan-keterampilan
pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis yang kurang memadai,
(3) birokrat lebih berusaha mewujudkan
tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari sifat
seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang, (4) adanya
kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan dengan kenyataan.
Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang
pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan sesungguhnya, dan (5)
Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas dari
proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah administrasi
publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik menjadi suatu
tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di Indonesia oleh
Bintoro (1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem politik yang
demokratis, partisipatif dan egalitarian, (b) reformasi ABRI (TNI) sebagai
birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang sentralistik
kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan clean
goverment. Pada bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998), mengatakan
bahwa pembangunan administrasi publik atau reformasi birokrasi pemerintah diarahkan
pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan debirokratisasi
ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2) meningkatkan
efisiensi birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak resmi), (3)
mutu, orientasi, pelayanan dan pemberdayaan birokrasi, (4) sistem karier dan
efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan pelayanan administrasi
kepegawaian.
Menurut Riggs (1996), pembaharuan
administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas
pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan sebuah
organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan
saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk suatu
kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian menurut
pandangan ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar
kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar ini, maka kebertanggungjawaban
(accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat esensial
sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan
peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam
hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan administrasi
dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara
struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran.
Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin
terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian pekerjaan yang makin tajam
dalam masyarakat modern. Sedangkan mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai
ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran
dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan
pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai tujuan.
Sementara Wallis dalam Ginanjar (1997)
mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi; (a) perubahan harus
merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan diperoleh dengan
upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha, dan (c)
perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk
kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995), menunjukkan bahwa
memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi ketanggapan (responsiveness)
terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan
efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan administrasi
meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen
finansial, pengaturan atau pengelompokkan kembali realignment fungsi-fungsi,
sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising management) dan mendorong
partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan serta cara
rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
B.
Arah Perkembangan Administrasi Publik
Perubahan paradigma manajemen pemerintahan
telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat dinamis
mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain oleh
Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta
Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
a. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini
manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan
negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk
mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa
rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini,
paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar.
Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan
pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian
dan demokrasi.
c. Perubahan paradigama dari sentralisasi
kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang
hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara
tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
e. Perubahan dari paradigma yang mengikuti
tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen
pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical
structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain,
suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan global,
administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran dan orientasi
yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan tumbuhnya
sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien, efektif.
Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam berbagai
segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu
besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil
bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada
masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup
hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang
dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi publik akan
selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem administrasi negara itu
berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas dan produktivitas,
tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan keadilan
sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti
administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun
struktur-struktur yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan
sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk
menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan pemerintahan untuk
mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki kebijaksanaan
(Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi publik
akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan
pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah
mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik
ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik
administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887
dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua
adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937.
paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik.
Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang
administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat perkembangan
untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara proposial pada akar
keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak Henry Fayol menulis
bukunya yang berjudul Industrial and General Administration (1949). Paradigma
kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi publik
sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi
publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Administrasi publik yang berkembang
setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut Kristiadi
(1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan pada
temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG) yang
menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di
negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya
pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas
sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi.
Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi
pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan
birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang
terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik
(good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability
dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir administrasi
berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin terfokuskan pada
upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997) efisiensi dalam
pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public goog) dan
pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang dilaksanakan
oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan hal tersebut,
menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu didukung oleh
birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran administrasi
publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi terutama dalam
menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan keadilan
sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi publik
berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus dominan dan
diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996) melakukan
analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang
selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu :
perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat
kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus membangun partisipasi
rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan
(4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu, Moestopadijaja (1998)
mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada
prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan
desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah
tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering rather
then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan
dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum
mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan
berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam
pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui (a)
pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi
masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan
sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih memberikan
kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning
process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang
tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat
untuk melayani (a spirit of public
services), dan menjadi mitra masyarakat (partner
of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam
Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang antara lain
dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan
(enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat
diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam pelaksanaan kode
etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus bersikap terbuka,
transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan seluruh sumber
daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian
yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan dilayani, mendorong
bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana bukan
berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir orang.
Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan
pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus
diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan
mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani.
Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than
serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia
usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan keterbukan
birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah yang tegas
dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan
aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan
serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, pengawasan
pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi
administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang
harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk
organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan
rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin
organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan
dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3) strategy, (4) staff,
(5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan
misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan budaya
yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus
menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai
aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun
dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup
kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman
kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan
yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan
pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur
organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan
strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat,
efisien, terbuka, dan akuntabel.
C.
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih
dan Berwibawa
Peran pemerintah sangat besar dan
mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki
berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan
masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan
pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara tuntutan dengan
kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai
gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah. Barzelay (1992), misalnya
memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan dunia, birokrasi membutuhkan
inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996)
mengemukakan lima strategis sebagai instrumen implementasi lebih lanjut dari
prinsip Reinventing Government yang diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1)
creating clarity of purpose, (2) creating consequences form performance, (3)
putting the custumer in the driver’s seat, (4) shifting control away from the
top and the center, (5) creating entrepreneural culture.
Pada
intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa
pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam
rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah
governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan,
pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah Guiding. Gevernance adalah suatu proses dimana suatu sistem
sosial ekonomi atau sistem organisasi yang kompleks lainnya dikendalikan. Pinto
dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance sebagai ’’ praktek
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan
urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya’’.
Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat
diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan
yang amanah.
Secara umum governance mengandung
unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3)
openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban bagi
aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala
tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari
pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah
terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan
akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas
pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan
akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem
pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat.
Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan
keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan
semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala
tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah
merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima
tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan instrumen penting
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus
mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan
implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah
harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal
tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat
untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak
transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data
yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas
jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha (1997)
pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1)
pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2)
kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk
mengaktualisasikan kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan
seberapa jauh sistem pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam
birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut Rasyid (1997)
bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi administrasi, yaitu
administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta aparatur yang
berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani, memberdayakan dan
membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina secara
berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien mekanisme
dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan pengambilan keputusan
harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk menciptakan
pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang
berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai
perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program
pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah
aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh
kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan
bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan
tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan
berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah
steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan
dengan platform more steering the rowing,
yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya
fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat
menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya
mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan
yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor
kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak
cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat
menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak
berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan
wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh
kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan
menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.
D.
Konsep Kinerja
Kata kerja populer digunakan untuk
menjelaskan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun
organisasi sesuai dengan tugas, kewenangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan
organisasi. Padanan istilah kinerja diidentikkan dengan istilah
perfomance. Menurut The Cribner-Bantanm English Dictionary (1997) terdapat
keterangan sebagai berikut. Berasal dari akar kata ”to perform” yang mempunyai
beberapa padanan, berikut: (1) to door carry out; execute; (2) to diacharge or
fulfill; as a vow; (3) to portray, as a character in a play; (4) to render by
the voice or a musical instrument; (5) to execute or complete an undertaking;
(6) to act a part in a play; (7) to perform music; (8) to do what is expectred
of person or machine.
Arti
padanan tersebut adalah (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi
atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3) menggambarkan suatu karakter dalam
suatu permainan; (4) menggambarkan dengan suara atau alat musik; (5)
melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (6) melakukan suatu kegiatan
dalam suatu permainan; (7) memainkan suatu pertunjukan musik; dan (8) melakukan
sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Dalam
hubungan dengan penelitian ini, maka padanan kata yang cocok digunakan adalah:
(1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan nazar;
(5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (8) melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh orang atau mesin.
Arti kata performance merupakan kata benda
(noun) dimana salah satu padanan katanya adalah “thing done” (sesuatu hasil
yang dikerjakan). Menurut Prawirosentono (1999) performance atau kinerja adalah
hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam
rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia senidri,
sampai edisi sekarang kata kinerja belum tercantum. Istilah-istilah yang sering
dipakai yang berkaitan dengan kinerja adalah efisien, efektivitas dan bahkan
Frederickson (1984) menambahkan keadilan sosial untuk menilai apakah
administrasi negara telah berhasil mengemban misinya sebagai isntrumen publik
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gaspersz (1997) mengatakan bahwa
kinerja dibangun dari kualitas, dan kualitas adalah terdiri dari segala sesuatu
yang bebas dari kekurangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh organisasi untuk
memuaskan semua unsur yang berkaitan dengan organisasi baik internal maupun
eksternal.
Mengacu pada pengertian diatas, bahwa
unsur pembentuk kinerja organisasi adalah terdiri atas: efisiensi, efektivitas,
kualitas dan keadilan, maka dapat didefinisikan bahwa kinerja organisasi adalah:
”hasil
kerja yang secara akumulatif dicapai oleh organisasi berdasarkan sasaran yang
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya”.
Sasaran organisasi, menurut Martani,
terdiri dari: (a) sasaran lingkungan, yaitu kondisi dimana organisasi telah
mendapat pengakuan dari lingkungannya, termasuk bagaimana sikap, perasaan dan
persepsi dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan organisasi
tersebut; (b) sasaran output, yaitu bentuk dan banyaknya output yang dihasilkan
organisasi; (c) sasaran sistem adalah kesehatan dan perawatan organisasi itu
sendiri yang menggambarkan ukuran, iklim organisasi, bentuk organisasi, tingkat
kepuasan pegawai; (d) sasaran produk yaitu karakteristik produk atau jasa yang
akan diberikan kepada konsumen. Sasaran ini menetapkan jumlah, mutu jenis,
corak dan karakteristik lainnya yang menggambarkan karakteristik produk ataupun
jasa yang ditawarkan; dan (e) sasaran bagian, yaitu menggambarkan sasaran dari
suatu bagian, ataupun suatu satuan kerja yang merupakan bagian dari suatu
organisasi. Sasaran bagian ini merupakan alat untuk mencapai sasaran output
ataupun sasaran sistem dari suatu organisasi.
Gambar 1
Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai
JENIS SASARAN ORGANISASI
|
KINERJA ORGANISASI
|
Sasaran Lingkungan |
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran lingkungan
|
Sasaran Ouput
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran output
|
Sasaran Sistem
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran sistem
|
Sasaran Produk
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran produk
|
Sasaran Bagian
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran bagian
|
Sumber : Peter (1997: 112)
Untuk mengukur tingkat keberhasilan
mencapai sasaran tersebut, maka insikator yang biasa dipakai adalah efisiensi,
efektivitas dan kualitas. Jadi dengan demikian, kinerja organisasi dapat diukur
berdasarkan tingkat pencapaian hasil kerja berdasarkan sasaran yang ditetapkan
sebelumnya. Demikian pula mengukur tentang hasil kerja organisasi bukan hanya
hasil kerja yang secara output diberikan kepada lingkungan eksternalnya yaitu
masyarakat atau pelanggannya, tetapi hasil kerja dapat pula diberikan kepada
pelanggan internalnya, yaitu pegawai yang berfungsi mengelola organisasi guna
mencapai tujuannya. Dengan demikian konsep tentang kinerja organisasi sangat
luas ruang lingkupnya; bukan hanya kinerja yang dihasilkan untuk lingkungannya
eksternalnya, tetapi kinerja dapat pula diperuntukkan bagi sasaran internal
organisasi. Oleh karena itu pendekatan untuk mengukur kinerja suatu organisasi
sangat tergantung susut pandang yang digunakan; dapat berupa kinerja pada sisi
Input kinerja pada sisi proses atau kinerja pada sisi output. Masing-masing
pendekatan ini memiliki indikator yang berbeda. Pada penelitian ini pengukuran
kinerja organisasi menggunakan pendekatan proses (internal proces approach), yaitu kinerja organisasi birokrasi
diukur dari efisiensi organisasi dan kesehatan organisasi; kesehatan organisasi
diukur dari tingkat kepuasan pegawai yang diberikan oleh organisasi, yaitu
dengan menggunakan mengukur kinerja pencapaian sasaran sistem organisasi
tersebut.
E.
Kinerja Organisasi Birokrasi
Birokrasi dalam literatur ilmu
administrasi dipergunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda dan bahkan
bertentangan. Matrin Albrow mengemukakan tujuh konsep moder tentang birokrasi
yaitu : (1) birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) birokrasi sebagai
inefisiensi organisasi; (3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh
pejabat; (4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) birokrasi
sebagai admnistrasi yang dijalankan oleh pejabat; (6) birokrasi sebagai sebuah
organisasi; dan (7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Dalam penelitian ini birokrasi dipakai
dalam pengertian yang terbatas yaitu sebagai organisasi pemerintahan atau
administrasi negara (publik) yang berfungsi menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dan fungsi pembangunan.
Seperti yang diakui oleh Abdullah (1984)
pembahasan birokrasi dalam kalangan ilmu sosial sering menimbulkan berbagai
perbedaan pendapat karena berbagai pengertian yang berbeda dengan sudut pandang
yang berbeda pula. Sorotan tajam penggunaan istilah birokrasi pada pengertian
yang kurang baik, yaitu birokrasi sebagai inefisiensi organisasi
(administrative inefficiency). Biasanya pengertian yang kurang baik ini
mencerminkan cara kerja aparatur pelayanan pemerintah yang memiliki kinerja
rendah.
Rumusan birokrasi berdasarkan hasil
seminar Persadi (1984) adalah birokrasi atau disebut pula sebagai organisasi
dari aparatur negara adalah susunan yang terorganisir secara hirarkis dengan
struktur hubungan kewenangan yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu dengan
cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak orang.
Pengertian ini menandaskan bahwa birokrasi
itu terdapat pada semua organisasi kerjasama manusia, termasuk organisasi
birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai
tujuan-tujuan; peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pendidikan,
menciptakan ketertiban keamanan dan pelayanan serta pengayoman masyarakat atau
dengan kata lain mencakup seluruh tugas dan fungsi pemerintah umum.
Sementara itu, Max Weber (Martani) sendiri
tidak memberikan defenisi yang jelas tentang birokrasi. Weber hanya mengajukan
ciri-ciri ideal birokrasi, yaitu (1) adanya pengaturan ataupun pengorganisasian
fungsi-fungsi resmi untuk suatu kesatuan yang utuh; (2) adanya pembagian kerja
yang jelas di dalam organisasi; (3) adanya pengorganisasian yang mengikuti
prinsip-prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi dan diatur
oleh tingkatan yang lebih tinggi; (4) adanya sistem penerimaan dan penempatan
karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa memperhatikan koneksi,
hubungan keluarga maupun favoritisme; (5) adanya pemisahan antara pemilikan
alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan organisasi; (6) adanya
obyektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan dalam
organisasi; dan (7) kegiatan administratif, keputusan-keputusan dan
peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat
ditegaskan bahwa yang dimaksud birokrasi disini adalah keseluruhan organisasi
pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat dalam berbagai unit organisasi pemerintah untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui
berdasarkan perbedaan tugas pokok dan misi yang mendasari organisasi birokrasi
adalah :
1. Birokrasi pemerintahan umum, yaitu
rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan
umum dari tingkat pusat sampai daerah (Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan).
2. Birokrasi fungsional, yaitu organisasi
pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna
mencapai tujuan umum pemerintahann
3. Birokrasi pelayanan (Service-Bureaucracy),
yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya melaksanakan pelayanan langsung
dengan masyarakat. Termasuk dalam konsep ini apa yang disebut oleh Michael
Lipsky sebagai ”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka yang menjalankan tugas
dan berhubungan langsung dengan warga masyarakat.
Perkembangan pengukuran kinerja organisasi
sangat berhubungan erat dengan pendekatan dalam mempelajari organisasi.
Pendekatan klasik misalnya memandang kinerja organisasi sama dengan efisiensi
organisasi. Menurut teori ini kinerja organisasi. Jadi, kinerja organisasi sama
dengan efisiensi.
Demikian pula pendekatan neo-klasik
kinerja organisasi diukur dari terciptanya suasana yang harmonis antara pegawai
sebagai anggota organisasi. Menurut teori ini suatu organisasi dikatakan memiliki
kinerja tinggi apabila anggotanya merasa puas terhadap apa yang diberikan oleh
organisasi. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan penganut paham
hubungan antar manusia, yang menempatkan kepuasaan anggota sebagai inti
persoalan organisasi dan manajemen. Sementara pendekatan modern sebagai suatu
pendekatan sistem memandang bahwa kinerja organisasi tidak saja ukur dari
variabel input, variabel proses dan variabel output, tetapi juga ketiga
variabel tersebut padu dalam interaksi dengan variabel lingkungan yang
mempengaruhi organisasi.
Menurut Indrawijaya (1986), teori yang
komprehensif mengukur kinerja organisasi berdasarkan banyak macam ukuran.
Pandangan ini berpendapat bahwa susunan organisasi memang merupakan suatu hal
yang penting. Tetapi dalam kebebasan bertindak sangat penting untuk
memungkinkan adanya kebebasan bertindak para anggota organisasi secara
keseluruhan dapat lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Jadi
ukuran kinerja organisasi selain berhubungan dengan aspek internal organisasi
juga berhubungan dengan aspek eksternal organisasi, yaitu berkaitan dengan
kemampuan beradaptasi dan fleksibelitas terhadap pengaruh lingkungan luar.
Emitasi Etzioni (dalam Indrawijaya: 1986)
megemukakan pengukuran kinerja organisasi menggunakan System Model, mencakup empat kriteria yaitu
adaptasi, integrasi, motivasi dan produksi. Kriteria adaptasi dipersoalkan
adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Indikator ini antara lain adalah tolok ukur proses pengadaan dan pengisian
tenaga kerja, ruang lingkup kegiatan organisasi. Hal terakhir mempertanyakan
seberapa jauh kemanfaatan organisasi tersebut bagi lingkungan. Kriteria
integrasi, yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan organisasi untuk
mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai
macam organisasi lain. Kriteria motivasi anggota diukur keterikatan dan
hubungan antara pelaku organisasi dengan organisasinya dan kelengakapan sarana
bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Sementara kriteria
produksi, yaitu usaha untuk pengukuran efektivitas organisasi dihubungkan
dengan jumlah dan mutu keluaran organisasi serta intensitas kegiatan suatu
organisasi.
Menurut Ducan (1981) kinerja organisasi
dapat diukur dengan indikator: (1) efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil
organisasi dibanding dengan masukan sumber; (2) keseimbangan antara subsistem
sosial dan antar personil; (3) antisipasi dan persiapan untuk menghadapi
perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh Osborne dan
Patrick (1998) yang mengatakan bahwa kinerja organisasi publik dapat dilihat
dari aspek tujuan (purpose), insentif, akuntabilitas, kekuasaan (power), budaya
(culture) organisasi. Aspek tujuan berkaitan dengan rendahnya pemahaman
birokrat terhadap visi dan misi organisasi sehingga antara perilaku, orientasi
kerja tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan aspek yang
berkaitan dengan insentif adalah kurangnya perhatian khusus terhadap birokrat
yang memiliki prestasi yang baik sehingga berdampak rendahnya kemampuan
birokrat dalam mengemban tugasnya. Sedangkan aspek akuntabilitas adalah
kemampuan organisasi itu mempertanggung jawabkan atas semua kewenangan, sumber
daya organisasi, kebijakan yang dihasilkan atas penilaian yang obyektif dari
orang/badan dan masyarakat yang memberi tugas.
Martani Husein, menggunakan tiga
pendekatan untuk mengukur tingkat pengukuran efektivitas organisasi yaitu; (1)
pendekatan sasaran (goal approach ), (2) pendekatan sumber (system resource
approach), (3) pendekatan proses (internal process approach).
Efektivitas menurut Martini (tanpa tahun:
55) adalah merupakan gambaran tingkat keberhasilan dalam mencapai sasarannya.
Dengan demikian, efektivitas disini sama dengan hasil kerja yang dicapai oleh
organisasi guna mencapai sasaran atau tujuannya. Hal ini berarti afaktivitas
mengandung makna kinerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai tujuannya.
Pendekatan sasaran dan dalam pengukurannya
dimulai dengan mengindentifikasi sasaran mengukur tingkat keberhasilan
organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi dapat dilihat dari fakktor
efisiensi, produktivitas, tingkat keuangan, pertumbuhan organisasi,
kepemimpinan organisasi pada lingkungannya, dan stabilitas organisasi.
Sedangkan pendekatan sumber adalah mengukur tingkat keberhasilan organisasi
mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan terutama untuk memelihara sistem
organisasi. Ukuran pada pendekatan ini meliputi; kemampuan organisasi untuk
memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat
langka dan nilainya tinggi, kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi
untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara cepat, kemampuan
organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan menggunakan sumber-sumber
yang berhasil diperoleh, kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan
opersionalnya sehari-hari, dan kemampuan organisasi untuk bereaksi dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Pendekatan Proses menganggap efektivitas
sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal. Indikator
untuk mengukur pendekatan ini diantaranya, adalah; efisiensi, perhatian atasan
terhadap karyawan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling
percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan, desentralisasi dalam
pengambilan keputusan, adanya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar
dalam organisasi, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan
organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, adanya sistem imbalan
yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja
yang efektif dalam organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik, dan
konflik yang terjadi selalu diselesaikan dengan mengacu pada kepentingan
bersama.
Sementara Gibson (1996), menggunakan
pendekatan untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan dimensi periode
waktu, yaitu tahap jangka pendek, tahap jangka menengah, dan tahap jangka
panjang. Keseluruhan proses tahap tersebut adalah suatu sistem yang tak
berpisah, bahkan periode waktu jangka pendek merupakan prasyarat untuk dapat
memasuki periode waktu jangka menengah, demikian selanjutnya periode waktu
jangka menengah merupakan prasyarat untuk memasuki tahap jangka panjang. Pada
akhirnya organisasi yang tidak memiliki kinerja bagus pada periode waktu jangka
pendek tak dapat survive untuk masa depan. Indikator untuk mengukur periode
jangka pendek adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas dan kepuasan
masyarakat yang dilayani. Sedangkan Indikator untuk mengukur periode jangka
menengah adalah persaingan, yaitu menggambarkan posisi organisasi dalam
lingkungan termasuk nilai bargaining position, dan pengembangan, yaitu
kemampuan organisasi menginventarisasi sumber daya untuk memenuhi permintaan
lingkungan. Indikator periode jangka panjang adalah kelangsungan hidup
organisasi, yaitu kemampuan organisasi untuk tetap bertahan dan hidup seiring
dengan perubahan lingkungan yang berubah.
Analisis kinerja organisasi tak dapat
dilepaskan dari kinerja individu. Terhadap hubungan yang sangat kuat antara
kinerja individu dengan kinerja organisasi. Organisasi yang memiliki kinerja
individunya tinggi akan memberi konstribusi besar terhadap kinerja organisasi.
Studi ini lakukan oleh Thoha (1991) yang mengatakan bahwa kinerja individu
sangat ditentukan oleh karakteristik-karakteristik individu seperti kemampuan,
kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Sedangkan karakteristik
organisasi birokrasi adalah hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab,
sistem reward dan sistem kontrol. Interaksi antara karakteristik individu dan
karakteristik organisasi akan melahirkan perilaku organisasi sekaligus kinerja
organisasi.
F.
Kualitas Individu dan Pembelajaran
Organisasi
Seperti diketahui bahwa kualitas individu
sangat menentukan kinerja organisasi, bahkan berkembangnya organisasi sangat
terkait dengan kemampuan individu-individu yang mengelola organisasi. Ducan
dalam Indrawijaya (1989) mengatakan bahwa prestasi (P) adalah fungsi perkalian
dari motivasi dari (M) dengan kemampuan (K). Dengan demikian ada dua faktor
pembentuk kualitas seseorang yaitu; kemampuannya yang menunjukkan potensi seseorang untuk
melakukan tugasnya, dan kedua adalah faktor motivasi, yaitu merupakan proses
psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan
keputusan yang terjadi pada diri seseorang.
Gibson mengatakan ada tiga variabel yang
mempengaruhi perilaku individu, yaitu variabel individu, variabel organisasi
dan variabel psikologis. Variabel individu berkaitan dengan kemampuan dan
keterampilan, latar belakang dan demografi. Sedangkan variabel organisasi
berhubungan dengan sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain
pekerjaan. Sementara variabel psikologis berkaitan dengan persepsi, sikap,
kepribadian, belajar, dan motivasi.
Peter
M. Senge (1997), mengajukan teori yang terbaru mengenai kualitas
individu dan hubungannya dengan organisasi dalam menghadapi perubahan
lingkungan. Sange mengemukakan Disiplin Kelima (Fifth Disiplin) dalam
pembelajaran organisasi (Learning organization), yaitu system tingking,
personal mastery, mental models, building shared vision dan team learning.
Kedepan organisasi pembelajaran merupakan salah satu ciri organisasi abad 21,
karena organisasi yang demikian itu mampu menjawab tantangan yang dihadapi dan
sekaligus menjamin keberlangsungannya ditengah-tengah perubahan.
Systems thinking atau berfikir secara
sistem merupakan tonggak konseptual (conceptual
corner stone) yang mendasari semua pilar disiplin pembelajaran. Berfikir
sistem sangat berkepentingan terhadap pergeseran pola fikir (shift of mind)
dari cara pandang parsial menuju cara pandang yang holistik. Oleh karena
itu berfikir sistem merupakan paradigma yang melihat pada superioritas kesatuan
yang menyeluruh
(a paradigma premised upon the primary of the whole). Berfikir sistem merupakan disiplin yang melihat
fenomena secara keseluruhan sehingga lebih menekankan kepada kerangka pikir
yang saling berkaitan (interconnectedness). Berfikir sistem juga merupakan cara
pandang yang berfokus pada perubahan (pattern of change) sehingga tidak melihat
suatu fenomena yang hanya didasarkan pada cara yang statis.
Personal mastery atau personal vision pada
hakekatnya merupakan disiplin pribadi yang secara terus-menerus berusaha
mencapai visi pribadi melalui focusing dan refocusing dengan melihat realitas
secara obyektif agar pilihan-pilihan yang diambil mengakomodasikan visi pribadi
dan realitas yang dihadapi dengan jalan menfokuskan energi dan mengembangkan
kesabarannya. Meningkatkan penguasaan diri pribadi merupakan suatu hal penting
dalam organisasi karena komitmen membangun pembelajaran diawali oleh komitmen
individu. Organisasi akan lebih cepat mencapai tujuannya apabila setiap
individu dalam organisasi memiliki tingkat kemampuan diri yang tinggi. Karakteristik
Personal Mastery pada tingkat yang tinggi adalah; mempunyai komitmen yang
tinggi, berinisiatif, kreatif, mempunyai visi pribadi yang jelas, memiliki
kepercayaan diri yang dalam, mempunyai rasa tanggung jawab yang mendalam,
selalu berusaha mengembangkan diri, mempunyai kemampuan untuk mencapai hasil
yang diinginkan, dan mampu melihat realitas secara obyektif.
Mental model suatu kerangka untuk
memandang sesuatu yang dianggap benar tetapi belum dibuktikan kebenarannya.
Dengan demikian mental model merupakan jendela kaca dari mana seseorang melihat
dan bagaimana mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang berubah. Nilai
seseorang sangat ditentukan oleh konstribusi mental model yang dimilikinya.
Mental model yang baik memungkinkan pemiliknya menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungannya.
Building Shared Vision (membangun visi
bersama) salah satu disiplin pembelajaran yang berfungsi menyatupadukan potensi
organisasi untuk meraih sukses bersama-sama. Visi bersama adalah visi yang
dibentuk dari visi indvidu-individu, dengan tujuan agar visi organisasi dapat
merupakan kepemilikan bersama karena seluruh anggota mempunyai andil dalam
pembentukannya. Visi adalah gambaran atau imajinasi yang ingin diwujudkan. Visi
menyatakan masa depan yang menjanjikan (attractive future), nyata (realistic)
dan dapat dipercaya (credible).
Misi memberi jawaban atas pertanyaan apa
yang individu / organisasi kerjakan. Misi bersifat menantang dan memberikan
kekuatan (energizibng) kepada seseorang maupun organisasi. Menurut Osborne
(1995) pemerintahan yang digerakkan oleh misi lebih efisien, lebih efektif,
lebih inovatif, lebih fleksibel, dan mempunyai semangat yang tinggi ketimbang
organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
Nilai adalah sikap atau perilaku dalam
mengejar visi; sikap terhadap orang dalam organisasi, sikap menghargai
pelanggan, masyarakat sikap pelayanan dan batas-batas simbol tuntutan perilaku
yang akan menolong orang bergerak menuju visi.
Team learning suatu proses pengembangan
kapasitas suatu tim untuk menciptakan atau mencapai hasil yang sesungguhnya
diinginkan oleh anggota-anggota tim. Bangunan dari team learning adalah saling
percaya, saling menjunjung tinggi, anggota saling mengisi. Pembelajaran
sebenarnya adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas (knowledge skill) dan
menerapkan dengan efektif (increasing one’s capacity to take efective action).
Team learning memiliki tiga dimensi, yaitu: keharusan untuk berfikir jernih dan
mendalam menghadapi issue yang pelik, kebutuhan untuk bertindak inovatif dan
terkoordinasi, dan kesediaan anggota tim untuk berperan dalam tim-tim lain
sehingga saling melengkapi dan saling
menunjang.
G.
Efisiensi, Efektivitas dan Kesehatan
Organisasi Birokrasi
Menurut Riggs (1966) ukuran kinerja
birokrasi, bukan hanya kinerja perorangan (personal
perfomance) atau suatu unit, tetapi
juga yang diukur adalah kinerja organisasi (social
perfomance). Ada dua aspek penting
dalam pengukuran kinerja menurut Riggs, yaitu aspek efektivitas dan efisiensi.
Efektivitas berkaitan seberapa jauh sasaran telah dapat dicapai, dan efisiensi
menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding dengan usaha, biaya atau
pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Efektivitas dapat dinyatakan sebagai
tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran.
Dengan perkataan lain efektivitas adalah hasil guna yang dicapai oleh
organisasi untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Jadi, makna efektivitas
memiliki konsep yang lebih luas dari pada konsep efisiensi. Efektivitas dapat
berkaitan dengan variabel internal dan juga berkaitan dengan variabel eksternal
organisasi. Sedangkan efisiensi hanya berkaitan dengan proses internal
organisasi, yaitu perbandingan yang rasional atau terbaik antara Input dengan
Output.
Efisiensi berkaitan dengan pencapaian
Output. Sedangkan Output diakibatkan dari Input. Dengan demikian efisiensi
adalah perbandingan terbaik antara hasil Output yang diperoleh dan kegiatan
yang dilakukan serta sumber-sumber atau input yang dipergunakan dalam
sumber-sumber tersebut tercakup tenaga kerja, biaya, material, alat-alat kerja,
waktu dan sebagainya.
William M. Evan (dalam Martani), mengukur
kinerja organisasi dengan menggunakan pendekatan proses, yaitu menghitung
efisiensi, yaitu menghitung besarnya ongkos untuk pengadaan input (I),
menghitung ongkos transformasi (T) serta menghitung nilai output (O) ketiga
variabel ini dapat dikombinasikan untuk mengukur berbagai aspek tentang kinerja
organisasi. Cara yang paling sering yang digunakan untuk mengukur efisiensi
adalah dengan menggunakan rasio O/ I. Bagi Dinas Keberhasilan Rasio ini dapat
diartikan Tingkat biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut sampah M3/ hari
perbulan. Dari perbandingan rasio tersebut dapat diketahui tingkat efisiensi Dinas
Pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi kesehatan organisasi, dilihat dari
sudut pandang sasaran output merupakan proses, bukan hasil atau kinerja yang
dihasilkan oleh organisasi. Akan tetapi dari sasaran sistem, adalah merupakan
output dari proses itu sendiri. Dengan kata lain organisasi yang sehat
merupakan output dari sasaran sistem, dimana organisasi mampu menciptakan
suasana yang harmonis antara semua unsur yang terlibat dalam proses organisasi.
Kinerja organisasi yang sehat menurut
Martani dicirikan oleh tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat,
loyalitas dan kerjasama yang sangat dinamis, saling percaya dan komunikasi
antara pegawai dengan pimpinan, tingginya otonomi dan desentralisasi dalam
pengambilan keputusan, tumbuhnya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar
dalam organisasi dan organisasi memiliki sistem imbalan yang merangsang setiap
individu / kelompok berprestasi.
H.
Kerangka Pikir
Berdasarkan pendekatan analisis kinerja
organisasi menurut Huseini seperti yang diuraikan di atas bahwa ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis yaitu; (1) pendekatan
sumber, pendekatan proses dan pendekatan sasaran. Sebagai acuan dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan prosas (internal process approach) dalam menganalisis kinerja
organisasi. Pendekatan ini menganggap kinerja organisasi sebagai efisiensi dan
kondisi (kesehatn) dari organisasi internal. Pada organisasi yang kinerjanya
baik; proses internal berjalan dengan lancar, pegawai bekerja dengan
kegembiraan dan kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian
terkoordinasi dengan baik dengan produktivitas yang tinggi, tingginya perhatian
atasan terhadap bawahan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja,
saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, desentralisasi
dalam pengambilan keputusan, komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar,
adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai
tujuan yang telah direncanakan, sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk
mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif, organisasi dan
bagian-bagian bekerjasama secara baik dan tumbuhnya yang tinggi serta konflik selalu diselesaikan
dengan acuan kepentingan organisasi.
Sementara menurut Etzioni seperti yang
diuraikan terdahulu kinerja organisasi dapat diukur melalui system model yang mencakup empat
kriteria, yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produktivitas. Dalam hubungan
dengan pengukuran penelitian ini indikator motivasi menurut Etzioni adalah
keterikatan dan hubungan antara perilaku organisasi dengan organisasinya dan
kelengkapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Motivasi
merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja. Pegawai yang memiliki
motivasi tinggi, akan memiliki kinerja tinggi.
Demikian pula Menurut Ducan dalam
Indrawijaya, kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator efisiensi, yaitu
jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber dan
keseimbangan antara susbsistem sosial dan antara personal. Hal senada pula
dikemukakan Gibson sebelumnya bahwa indikator untuk mengukur kinerja organisasi
dilihat dari pendekatan jangka pendek adalah efisiensi, mutu, fleksibilitas.
Efisiensi adalah kunci utama agar organisasi itu dapat survive dan memasuki era
persaingan. Demikian pula mutu hanya dapat dicapai melalui proses internal
dengan menggunakan teknologi, sumber daya manusia yang trampil, berkemampuan
tinggi, memiliki motivasi tinggi.
Berdasarkan teori motivasi dari Hezberg
(Gibson, 1996) dapat dideteksi bahwa
berasal dari faktor instrinsik, yaitu faktor-faktor atau situasi yang
merupakan sumber yang antara lain
terdiri dari keberhasilan, pengakuan, tanggung jawab dan pengembangan; dan
faktor ekstrinsik, adalah faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan antara lain
terdiri dari supervisi, keamanan kerja, kondisi kerja kebijaksanaan organisasi
dan gaji. Perbaikan dari faktor-faktor ini akan mengurangi atau menghilangkan
ketidakpuasan, namun tidak menimbulkan kepuasan.
Kerjasama dalam tim merupakan potensi
organisasi yang sangat besar dalam mencapai sasaran organisasi. Oleh karena itu
kerjasama tim harus dikembangkan melalui proses pengembangan kapasitas tim
(team learning). Menurut Senge seperti yang diuraikan di atas bahwa bangunan
tim learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, dan anggota
saling mengisi antara sesama tim, dengan begitu proses kerjasama tim akan
tercipta.
Terciptanya hubungan pimpinan dan bawahan
dalam organisasi yang harmonis, transparan, persuasif dapat mendorong meningkat
kinerja organisasi secara keseluruhan. Pimpinan tak dapat bekerja dengan baik
apabila tidak mendapat dukungan dari bawahan, demikian pula bawahan tak dapat
mengekspresikan diri, mengaktulisasi segala potensi dan motivasinya tanpa
dukungan pimpinan. Oleh karena itu antara keduanya harus saling percaya,
terbuka, memberdayakan dan partisipastif.
Iklim organisasi merupakan suasana secara
internal organisasi melakukan aktivitas. Menurut Gibson, iklim organisasi
sangat potensial menciptakan organisasi yang sehat, terutama bagi kelangsungan
interaksi anggota dan kelompok organisasi itu sendiri. Iklim organisasi yang
baik dicirikan oleh otonomi dan fleksibilitas, menaruh kepercayaan dan
keterbukaan, simpatik dan memberi dukungan dan pertumbuhan pribadi dalam
organisasi tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas,
maka model penelitian ini dapat disimplikasi menjadi (1) pendekatan analisis
yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi adalah pendekatan proses (internal process approach) yang
menekankan pada efisiensi dan kesehatan organisasi sebagai ukuran kinerja
organisasi. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka konsep kinerja organisasi
dapat diukur melalui variabel-variabel: (1) efisiensi organisasi; (2) kerjasama
tim; dan (3) hubungan pimpinan dengan bawahan.
Untuk lebih lengkapnya bisa di unduh dibawah ini
Berikut Bagian Skrips yang bisa anda Unduh, dengan mengklik unduh yang diinginkan.
Skirpsi Administrasi Negara "ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH" Full Text
1 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - SAMPUL | Aktif | Unduh |
2 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - BAB I | Aktif | Unduh |
3 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - BAB II | Aktif | Unduh |
4 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - BAB III | Aktif | Unduh |
5 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - BAB IV | Aktif | Unduh |
6 | ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH - BAB V | Aktif | Unduh |
Mohon maaf bila adanya kekurangan dari tulisan ini. Semoga Skripsi Administrasi Negara "ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH" berguna bagi kita semuanya dan dapat mengerjakan Skripsi nantinya dengan tenang tanpa ada kendala sedikitpun. Silahkan berbagi kepada teman-teman anda dan infokan bahwa Skripsi tersebut sudah tersedia di bospedia. Jika ada pertanyaan dan atau link unduhnya ternyata error bisa langsung hubungi saya dibawah ini. Terima kasih.
Pencarian yang paling banyak dicari
- skripsi administrasi negara doc
- skripsi administrasi negara pdf
- contoh skripsi administrasi negara gratis
- judul skripsi administrasi negara 2017
- judul skripsi administrasi negara kuantitatif
- judul skripsi administrasi negara 2015
- judul skripsi administrasi negara 2011
- judul skripsi administrasi negara metode kualitatif
Post a Comment