Setelah kegiatan pembelajaran 1 ini diharapkan kalian mampu menganalisis sistematika kritik sastra dan esai dengan kritis dan semangat agar dapat merancang kritik sastra dan esai yang kreatif, inovatif, serta benar.
B. Uraian Materi
Kalian hebat karena sudah berada dalam tahap ini. Kalian pasti telah menguasai modul sebelumnya, ya. Modul ini merupakan lanjutan dari modul sebelumnya. Pada pembahasan modul ini, kalian akan diberikan penjelasan tentang sistematika kritik sastra dan esai. Sebelum kalian memahami sistematika kritik sastra dan esai, simak dahulu teks kritik sastra dan esai berikut :
Baca juga - Soal Isi dan Sistematika Surat Lamaran Pekerjaan
Contoh Teks Kritik Sastra
Capaian Eksperimen Novel Lelaki Harimau
Maman Mahayana
(1) Setelah sukses dengan Cantik itu Luka (Yogyakarta: AKY, 2002; Jakarta Gramedia,
2004) yang memancing berbagai tanggapan, kini Eka Kurniawan menghadirkan kembali karyanya, Lelaki Harimau (Gramedia, 2004; 192 halaman). Sebuah novel yang juga masih memendam semangat eksperimen. Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian.
(2) Pemanfaatan –atau lebih tepat eksplorasi– setiap kata dan kalimat tampak begitu cermat dalam usahanya merangkai setiap peristiwa. Eka seperti hendak menunjukkan dirinya sebagai ”eksperimental” yang sukses bukan lantaran faktor kebetulan. Ada kesungguhan yang luar biasa dalam menata setiap peristiwa dan kemudian mengelindankannya menjadi struktur cerita. Di balik itu, tampak pula adanya semacam kekhawatiran untuk tidak melakukan kelalaian yang tidak perlu. Di sinilah Lelaki Harimau menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah novel yang tidak sekadar mengandalkan kemampuan bercerita, tetapi juga semangat eksploratif yang mungkin dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi kesastraan. Ia lalu menyelusupkannya ke dalam segenap unsur intrinsik novel bersangkutan.
Baca juga - Soal Struktur Kebahasaan Surat Lamaran Pekerjaan
(3) Mencermati perkembangan kepengarangan Eka Kurniawan, kekuatan narasi itu sesungguhnya sudah tampak dalam Coret-Coret di Toilet (Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 2000), sebuah antologi cerpen yang mengusung berbagai tema. Dalam antologi itu, Eka terkesan bercerita lepas-ringan, meski di dalamnya banyak kisah tentang konteks sosial zamannya. Di sana, ia tampak masih mencari bentuk. Belakangan, cerpennya ”Bau Busuk” (Jurnal Cerpen, No. 1, 2002) cukup mengagetkan dengan eksperimennya. Dengan hanya mengandalkan sebuah alinea dan 21 kalimat, Eka bercerita tentang sebuah tragedi pembantaian yang terjadi di negeri antah-berantah (Halimunda). Di negeri itu, mayat tak beda dengan sampah. Pembantaian bisa jadi berita penting, bisa juga tak penting, sebab esok akan diganti berita lain atau hilang begitu saja, seperti yang terjadi di negeri ini.
(4) Meski narasi yang meminimalisasi kalimat itu, sebelumnya pernah dilakukan Mangunwijaya dalam Durga Umayi (Jakarta: Grafi ti, 1991) yang hanya menggunakan 280 kalimat untuk novel setebal 185 halaman, Eka dalam Lelaki Harimau seperti menemukan caranya sendiri yang lebih cair. Di sana, ada semacam kompromi antara semangat eksperimen dengan hasratnya untuk tidak terlalu memberi beban berat bagi pembaca. Maka, Rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam kemasan yang lain sebagai alat untuk membangun peristiwa. Wujudlah rangkaian peristiwa dalam kalimatkalimat yang tidak menjalar jauh berkepanjangan ke sana ke mari, tetapi cukup dengan penghadiran dua sampai empat peristiwa berikut berbagai macam latarnya.
(5) Cara ini ternyata cukup efektif. Lelaki Harimau, di satu pihak berhasil membangun setiap peristiwa melalui rangkaian kalimat yang juga sudah berperistiwa, dan di lain pihak, ia tak kehilangan pesona narasinya yang mengalir dan berkelak-kelok. Dengan begitu, kalimat-kalimat itu sendiri sesungguhnya sudah dapat berdiri sebagai peristiwa. Cermati saja sebagian besar rangkaian kalimat dalam novel itu. Di sana –sejak awal –kita akan menjumpai lebih dari dua–tiga peristiwa yang seperti sengaja dihadirkan untuk membangun suasana peristiwa itu sendiri.
(6) Tentu saja, cara ini bukan tanpa risiko. Rangkaian peristiwa yang membangun alur cerita, jadinya terasa agak lambat. Ia juga boleh jadi akan mendatangkan masalah bagi pembaca yang tak biasa menikmati kalimat panjang. Oleh karena itu, berhadapan dengan novel model ini, kita (pembaca) mesti memulainya tanpa prasangka dan menghindar dari jejalan pikiran yang berpretensi pada sejumlah horison harapan. Bukankah banyak pula novel kanon yang peristiwaperistiwa awalnya dibangun melalui narasi yang lambat? Jadi, apa yang dilakukan Eka sesungguhnya sudah sangat lazim dilakukan para novelis besar.
(7) Secara tematik, Lelaki Harimau tidaklah mengusung tema besar, pemikiran filsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil. Dalam komunitas itu, hubungan antarsesama, interaksi antarwarga, bisa begitu akrab, bahkan sangat akrab.
(8) Perhatikan kalimat pertama yang mengawali kisahan novel ini. ”Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.” (hlm. 1). Peristiwa apa yang melatarbelakangi pembunuhan itu dan bagaimana duduk perkaranya? Jawabannya terungkap justru pada bagian akhir novel ini. Jadi, peristiwa di bagian awal, sebenarnya kelanjutan dari peristiwa yang terjadi di bagian akhir saat Margio meminta Anwar Sadat untuk mengawini ibunya (hlm. 192).
(9) Itulah salah satu keunikan novel ini. Eka melanjutkan kalimat pertama itu tidak pada peristiwa pembunuhan yang dilakukan Margio, tetapi pada diri tokoh Kyai Jahro. Mulailah ia berkisah tentang kyai itu. Lalu, dari sana muncul pula tokoh Mayor Sadrah. Ia pun bercerita tentang tokoh itu. Begitulah, pencerita seperti sengaja tidak membiarkan dirinya berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh dan kemudian secara perlahan beralih ke tokoh lain. Di antara rangkaian peristiwa yang dibangun dan dihidupkan oleh setiap tokohnya, menyelusup pula mitos tentang manusia harimau, potret bersahaja masyarakat pinggiran, dan keakraban kehidupan mereka. Sebuah pesona yang disampaikan lewat narasi yang rancak yang seperti menyihir pembaca untuk terus mengikuti kelak-kelok peristiwa yang dihadirkannya.
(10) Dalam hal itu, kedudukan pencerita seperti sebuah kamera yang terus bergerak merayap dari satu tokoh ke tokoh lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Akibatnya, peristiwa yang dihadirkan di awal: Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, … seperti timbul-tenggelam mengikuti pergerakan tokoh-tokohnya. Seperti seseorang yang masuk sebuah lorong berbentuk spiral. Ia terus menggelinding perlahan mengikuti ke mana pun arah lorong itu menuju. Ketika muncul di permukaan, ia sadar bahwa ternyata ia masih berada di tempat semula; di seputar ketika ia mulai masuk lorong itu.
(11) Dalam konteks perjalanan novel Indonesia, pola alur seperti itu pernah digunakan Achdiat Karta Mihardja dalam Atheis (1949), meski dihadirkan untuk membingkai biografi tokoh Hasan. Putu Wijaya dalam Stasiun membangunnya untuk mengeksplorasi pikiran-pikiran si tokoh. Akan tetapi, dalam Dag-Dig-Dug, Putu Wijaya menggunakannya agak lain. Akhir cerita yang seperti mengulangi kembali peristiwa awal, dirangkaikan lewat dialogdialog antartokoh mengingat karya itu berupa naskah drama. Iwan Simatupang dalam Kering dan Koong, menutup peristiwa akhir dengan mengembalikan kesadaran si tokoh sebagai akibat yang terjadi pada peristiwa awal. Tampak di sini, bahwa pola spiral sesungguhnya bukanlah hal yang baru sama sekali.
(12) Meskipun begitu, Lelaki Harimau, dilihat dari sudut itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain pola alur yang demikian, Eka menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai pintu masuk menghadirkan rangkaian peristiwa. Dengan demikian kalimat tidak hanya bertindak sebagai fondasi bagi pencerita untuk membangun peristiwa, juga sebagai pilar penyangga bagi peralihan peristiwa satu ke peristiwa lain melalui pergantian fokus cerita (focus of narration) dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain. Dalam hal ini, Lelaki Harimau telah menunjukkan keunikannya sendiri.
(13) Hal lain yang juga ditampilkan Eka dalam novel ini menyangkut cara bertuturnya yang agak janggal, tetapi benar secara semantis. Ia banyak menghadirkan metafora yang terasa agak aneh, tetapi tidak menyalahi makna semantisnya. Kadang kala muncul di sana-sini pola kalimat yang mengingatkan kita pada style penulis Melayu Tionghoa. Di bagian lain, berhamburan pula analogi atau idiom yang tidak lazim, tetapi justru terasa segar sebagai sebuah usaha melakukan eksplorasi bahasa. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dalam novel ini jadi terasa sangat kaya dengan ungkapan, idiom, metafora, dan analogi.
(14) Dalam beberapa hal, Lelaki Harimau harus diakui, berhasil memperlihatkan sejumlah capaian. Ia menjelma tidak sekadar mengandalkan imajinasi, tetapi juga bertumpu lewat proses berpikir dan tindak eksploratif kalimat dengan berbagai kemungkinannya. Peristiwa perselingkuhan Nuraeni-Anwar Sadat pun, terasa sebagai kisah yang eksotis (hlm. 133-142); prosesi penguburan Komar bin Syueb, ayah Margio (hlm. 168-171), menjadi kisah yang di sana-sini menghadirkan kelucuan. Eka seperti sengaja memporakporandakan struktur kalimat yang klise, dan sekaligus menyodorkan pola yang terasa lebih segar, agak janggal dan terkadang lucu. Lelaki Harimau, tak pelak lagi, tampil sebagai novel dengan kategori: cerdas!
Sumber: http://ekakurniawan.net
Perhatikan hasil analisis sistematika teks kritik sastra Capaian Eksperimen Novel Lelaki Harimau” berikut ini.
Sistematika
Pernyataan pendapat
Kutipan teks
Sebuah novel yang juga masih memendam semangat eksperimen. Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian.
Sistematika
Argumen
Kutipan teks
- Di sana, ada semacam kompromi antara semangat eksperimen dengan hasratnya untuk tidak terlalu memberi beban berat bagi pembaca. Rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam kemasan yang lain sebagai alat untuk membangun peristiwa.
- Secara tematik, Lelaki Harimau tidaklah mengusung tema besar, pemikiran fi lsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil.
- Pencerita seperti sengaja tidak membiarkan dirinya berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh. Kemudian, secara perlahan beralih ke tokoh lain.
- Meski begitu, Lelaki Harimau, dilihat dari sudut itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain pola alur yang demikian, Eka menggunakan kalimatkalimat itu sebagai pintu masuk menghadirkan rangkaian peristiwa.
- Hal lain yang juga ditampilkan Eka dalam novel ini menyangkut cara bertuturnya yang agak janggal, tetapi benar secara semantis. Ia banyak menghadirkan metafora yang terasa agak aneh, tetapi tidak menyalahi makna semantisnya.
Sistematika
Penegasan ulang
Kutipan teks
Dalam beberapa hal, Lelaki Harimau harus diakui, berhasil memperlihatkan sejumlah capaian. Ia menjelma tak sekadar mengandalkan imajinasi, tetapi juga bertumpu lewat proses berpikir dan tindak eksploratif kalimat dengan berbagai kemungkinannya.
Kritik sastra diartikan sebagai tanggapan atau respons pembaca terhadap hasil karya sastra, baik itu berupa karya puisi ataupun prosa seperti cerpen maupun novel. Kritik sastra ditulis secara sistematis dan di dalamnya terdapat penilaian baik buruk. Panjang pendeknya sebuah tulisan kritik tidaklah ditentukan. Kritik sastra bisa ditulis panjang atau pendek sesuai dengan kebutuhan dan kedalaman isi. Meskipun mengungkapkan pandangan penulis, kritik tetap harus ditulis secara objektif karena berlandaskan sebuah hasil karya yang real.
Dalam teks kritik sastra, pendapat/tesis yang disampaikan adalah hasil penilaian terhadap sebuah karya. Dalam pendapat/tesis juga terdapat rangkuman cerita atas karya yang kalian kritik serta terdapat tokoh, perwatakan, alur, latar, amanat, atau hal lain yang berhubungan dengan kritik kalian.
Argumen yang disajikan berupa data-data objektif dalam karya serta alasan yang logis. Di dalamnya juga terdapat poin-poin yang akan dibahas dalam kritik. Pembahasan dapat dimulai dari seputar tokoh, alur, perwatakan, amanat, sistematika penulisan, dan lain-lain. Penulis dapat menggunakan teori, seperti sosiologi, psikologi, feminisme, postmodernisme, postkolonial, semiotika, dan lain-lain. Teori ini digunakan sebagai landasan untuk menganalisis dan menilai.
Penegasan ulang dalam kritik dapat berupa ringkasan atau pengulangan kembali tesis dalam kalimat yang berbeda. Di dalamnya juga terdapat penilaian kalian terhadap sebuah karya sastra. Penilaian ini didasarkan pada analisis dan argumen yang telah ditulis dalam argumen. Penulis kritik harus tetap objektif dan mengunakan bahasa yang lugas dalam menilai sebuah karya sastra.
Contoh Teks Esai
Batman
Gunawan Mohammad
(1) Batman tak pernah satu, maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak ”Batman Begins” (2005) sampai dengan ”The Dark Knight Rises” (2012) berbeda jauh dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap fi lm dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.
(2) Tiap kali kita memang bisa mengidentifi kasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.
(3) Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tetapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang–sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang–beda dan yang–banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singularis, tak bisa dibandingkan. Mana yang ”asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.
(4) Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Akan tetapi, arkeologi yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.
(5) Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik ”Night on Earth” karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri archeologists of the impossible.
(6) Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal.
(7) Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Namun, sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Hal yang lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.
(8) Sebab itu Kota Gotham dalam ”Night on Earth” bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang ”utuh” dan sesuatu yang kacau.
(9) Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah ”dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak, ”Candide”, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Mahapemurah dan Mahapengasih— justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.
(10) Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam ”Night on Earth”, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.
(11) Penyair Wallace Stevens menulis seah sajak, ”Th irteen Ways of Looking at a
Blackbird”. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan,
But I know, too,
Th at the blackbird is involved
In what I know
(12) Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan ”yang aku ketahui”. ”Yang aku ketahui” tak pernah ”aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia— seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.
(13) Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari ”yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.
(14) Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam ”The Dark Knight Rises”, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”. Sumber: Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~
Perhatikan contoh analisis sistematika teks esai ”Batman” berikut ini!
Sistematika
|
Kutipan teks
|
Pernyataan pendapat
|
Batman tak pernah satu, maka ia tak berhenti.
|
Argumen
|
1.
Tiap kali, kita memang bisa mengidentifi kasinya dari
sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan
kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada
hubungan dengan halihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman
penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.
2.
Sebab itu, Batman bisa bercerita tentang asal mula,
tetapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak
menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua
dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama.
3.
Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi
yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan.
|
Penegasan ulang
|
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan
batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan
selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam
“The Dark Knight Rises”, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman,
biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat
yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”.
|
Esai adalah salah satu bentuk karya ilmiah. Fajri melalui Nurbaya mengatakan bahwa esai adalah sebuah tulisan yang menguraikan suatu masalah berdasarkan sudut pandang penulis, tetapi hanya secara sepintas. Oleh karena itulah, pendapat atau argumen yang ada dalam esai biasanya adalah pendapat pribadi. Penulis esai sangat dianjurkan mengemukakan pendapat, tetapi harus tetap memiliki alasan mengapa berpendapat seperti itu.
Terdapat dua bentuk esai, yakni esai formal dan esai nonformal. Esai formal adalah esai yang biasa dibuat oleh pelajar, mahasiswa, ataupun peneliti karena memiliki ciri-ciri serius, logis, dan lebih panjang. Bentuk esai nonformal memiliki sifat jenaka, personal, serta gaya dan struktur tidak terlalu formal sehingga lebih mudah ditulis.
Esai merupakan sebuah tulisan yang terdiri atas beberapa paragraf yang membahas sebuah topik. Empat hal yang harus ada dalam esai adalah judul, pendahuluan, isi, dan simpulan. Faktor penting yang ada dalam esai antara lain analisis, interpretasi, dan refl eksi. Karakter esai yang paling terlihat adalah unsur subjektivitas penulis.
Dalam teks esai, pendapat/tesis yang disampaikan adalah pandangan penulis terhadap objek atau fenomena yang disorotinya. Bagian ini memperlihatkan pokok permasalahan yang akan disampaikan oleh penulis esai. Selain itu, tesis bisa juga digunakan untuk menggiring pembaca agar mengetahui pokok esai kita.
Argumen yang disajikan berupa alasan yang logis yang subjektif. Pada bagian ini terdapat konteks. Konteks diartikan sebagai ruang lingkup tulisan secara eksplisit ataupun implisit. Konteks inilah yang membatasi pokok permasalahan agar fokus tidak keluar dari topik yang sedang dikaji. Selain terdapat konteks, pada bagian ini juga terdapat masalah. Masalah adalah kejadian atau peristiwa yang tidak sesuai dengan harapan atau keinginan. Sebuah karangan esai yang baik akan mengandung masalah yang aktual sehingga dapat memberikan sesuatu yang baru ke pembaca. Selain konteks dan masalah, bagian ini pun memperlihatkan adanya sebuah solusi. Solusi adalah usaha penulis untuk menyelesaikan masalah yang ditulis dalam esai karyanya. Penulis esai ingin meyakinkan pembaca agar ide dan gagasan yang dia sampaikan dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, penulis juga ingin mengajak pembaca melaksanakan solusi yang disampaikan sehingga masalah dapat terpecahkan dan selesai.
Penegasan ulang dalam esai dapat berupa ringkasan atau pengulangan kembali. Ringkasan dari pokok masalah dan solusi yang telah disampaikan. Akan lebih baik jika penegasan ulang ditulis dalam 3–5 kalimat yang menggambarkan pendapat kalian tentang topik yang ditulis. Namun, jangan tulis kembali apa yang sudah ditulis sebelumnya karena akan membuat pembaca bosan.
C. Rangkuman
1. Dalam teks kritik sastra,
Pendapat/ tesis yang disampaikan adalah hasil penilaian terhadap sebuah karya. Argumen yang disajikan berupa data-data objektif dalam karya serta alasan yang logis.
Penegasan ulang dalam kritik dapat berupa ringkasan atau pengulangan kembali tesis dalam kalimat yang berbeda.
2. Dalam teks esai,
Pendapat/tesis yang disampaikan adalah pandangan penulis terhadap objek atau fenomena yang disorotinya.
Argumen yang disajikan berupa alasan yang logis yang subjektif.
Penegasan ulang dalam esai dapat berupa ringkasan atau pengulangan kembali.
D. Latihan Soal
Bacalah teks di bawah ini dengan saksama!
Gerr
Oleh: Gunawan Muhammad
(1) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater Mandiri.
(2) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
(3) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
(4) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
(5) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
(6) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
(7) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
(8) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
(9) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
(10) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
(11) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
(12) Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
Sistematika
|
|
Kutipan teks
|
Pernyataan pendapat
|
…
|
|
Argumen
|
…
|
|
Penegasan ulang
|
…
|
|
Kunci Jawaban dan Pembahasan Latihan Soal Kegiatan 1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa yang membahas suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
Sistematika
|
Kutipan teks
|
Pernyataan pendapat
|
Di depan kita pentas
yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”,
”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”.
Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan
ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting
sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat
peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak
berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
|
Argumen
|
Pada Putu Wijaya, kata
adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
Ini terutama hadir dalam
teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti
dihadirkan.
Bagi saya, teater ini
adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
Saya ingat bagaimana
pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu
redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua
dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
Dari sini memang
kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari
dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”
Orang memang bisa ragu,
apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan
ini bisa dimengerti.
Sartre
pernah mengatakan, salah satu motif
|
|
menciptakan seni adalah
”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran
dalam keragaman hal-ihwal”.
Pernah pula Sartre
mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut
Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat
mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
Sartre
kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan
alat yang siap.
|
Penegasan ulang
|
Sebab
yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
|
E. Penilaian Diri
Setelah kalian belajar bertahap dan berlanjut melalui kegiatan belajar 1, berikut diberikan tabel untuk mengukur diri kalian terhadap materi yang sudah kalian pelajari. Jawablah sejujurnya terkait dengan penguasaan materi modul ini, dan isilah tabel refleksi diri terhadap pemahaman materi di tabel berikut dan (Centanglah).
Tabel Refleksi Diri Pemahaman Materi
No
|
Pertanyaan
|
Ya
|
Tidak
|
1.
|
Apakah kalian telah
memahami sistematika teks kritik satra?
|
|
|
2.
|
Apakah kalian telah memahami sistematikan teks esai?
|
|
|
Post a Comment