Materi Menyusun Kritik dan Esai Mapel Bahasa Indonesia kelas 12 SMA/MA
Rayyan Al Dziqry Nugraha
Update:
... menit baca
Dengarkan
Materi Menyusun Kritik dan Esai dengan Memerhatikan Aspek Pengetahuan dan Pandangan penulis Mapel Bahasa Indonesia kelas 12 SMA/MA - Halo adik adik yang baik apa kabar? semoga dalam keadaan baik baik saja, nah kali ini tentunya kakak sudah mempersiapkan materi untuk adik adik, materi ini kakak ambil dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, mengenai materi tentunya kakak juga mempersiapkan latihan soal yang bisa menunjang proses belajaran mengajar di sekolah, oh iya materi ini adalah Menyusun Kritik dan Esai. Semoga bermanfaat yah.
Materi Menyusun Kritik dan Esai Mapel Bahasa Indonesia kelas 12 SMA/MA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari kegiatan pembelajaran 2 ini diharapkan: apat menyusun kritik dan esai dengan memerhatikan aspek pengetahuan dan pandangan penulis
B. Uraian Materi
Menyusun Kritik Sastra
A. Pengertian Kritik
Kritik adalah Suatu ungkapan atau tanggapan mengenai baik atau buruknya suatu tindakan yang akan atau sudah dibuat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1997 : 531 ), disebutkan kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Selain itu, menurut Sutopo (2011) kritik merupakan analisis secara langsung dengan mempertimbangkan baik buruknya suatu karya, penerangan, dan penghakiman karya. Kritik meliputi tiga bidang, yaitu teori dan sejarah.
Evaluasi: berisi pernyataan umum mengenai suatu yang akan disampaikan.
Deskripsi Teks: bagian isi teks tanggapan kritis, memuat informasi tentang data-data dan pendapat-pendapat yang mendukung pernyataan atau melemahkan pernyataan.
Penegasan Ulang: bagian terakhir teks, berisi penegasan ulang mengenai suatu yang sudah dilakukan atau diputuskan.
C. Kaidah Kritik
Kalimat kompleks: kalimat yang memiliki lebih dari 2 struktur dan 2 verba.
Konjungsi: kata penghubung yang menghubungkan setiap kata dan struktur.
Kata Rujukan: sesuatu yang digunakan oleh penulis untuk memperkuat pernyataan dengan tegas. Dikenal juga dengan sebutan referensi.
Pilihan Kata: pemilihan kata yang sesuai dalam penggunaan sekaligus pembuatan teks tanggapan kritis.
Bersifat menanggapi atau mengomentari karya orang lain
Menunjukkan kelebihan dan kekurangan
Memberi saran perbaikan
Bertujuan menjembatani pemahaman pembaca
E. Jenis-jenis Kritik Berdasarkan Penerapannya
Kritik induktif adalah kritik dengan memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalam karya.
Kritik judisial adalah kritik kritik yang menganalisis dan menerangkan efek-efek karya berdasarkan permasalahannya, oraganisasinya, teknik, serta gaya kepenulisannya. Kritik ini atas dasar standar umum tentang kehebatan dan kebiasaan.
Kritik Impresionik adalah kritik yang berusaha menggambarkan sifat khusus dalam sebuah karya serta mengekspresikan tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya tersebut.
F. Jenis-jenis Kritik Berdasarkan Cara Kerja Kritikus
Kritik impresionistik adalah kritik yang berupa kesan-kesan pribadi secara subjektif terhadap sebuah karya, di sini selera pribadi amat berperan. Padahal selera pribadi itu berubah-ubah setiap saat sesuai dengan perkembangan kepribadian orang itu.
Kritik penghakiman adalah kritik yang bekerja secara deduksi dengan berpegang teguh pada ukuran-ukuran tertentu, untuk menetapkan apakah sebuah karya itu baik atau tidak.
Kritik teknis adalah kritik yang bertujuan menunjukan kelemahan-kelemahan tertentu dari sebuah karya agar pengarangnya dapat memperbaiki kesalahankesalahan dikemudian hari.
G. Prinsip-prinsip Penulisan Kritik
penulis harus secara terbuka mengemukakan dari sisi mana ia menilai karya sastra tersebut
penulis harus objektif dalam menilai
penulis harus menyertakan bukti dari teks yang dikritiknya
Menentukan tema atau topik yang akan ditulis atau dikritik
Mengumpulkan bahan-bahan referensi pendukung
Mengidentifikasi unsur-unsur yang mendukung dan kontra
Memilih unsur-unsur yang dapat mendukung tema
Memulai untuk menulis kritik
Membaca dan melakukan pengeditan ulang untuk revisi
Mengirimkan ke media massa cetak
I. Pengertian Esai
Esai adalah Suatu tulisan yang menggambarkan opini penulis tentang subyek tertentu yang coba dinilainya. Bentuk karangan esai dapat berupa formal atau informal. Esai sering juga disebut dengan artikel, tulisan atau komposisi. Secara umum, esai didefinisikan sebagai sebuah karangan singkat yang berisi pendapat atau argumen penulis tentang suatu topik.
Pendahuluan: struktur awal pembangun kerangka dari esai. Pendahuluan biasanya akan mengungkapkan secara sekilas topik atau tema yang akan diangkat pada keseluruhan esai.
Bagian isi: Bagian ini merupakan bagian inti dari struktur pembangun esai. Pada bagian ini, topik atau tema yang telah dipilih sebelumnya akan dibahas dan dijelaskan secara lebih rinci dan mendetail
Penutup atau Kesimpulan: Seperti namanya, bagian penutup merupakan bagian terakhir dalam menyusun sebuah esai.
K. Kaidah Esai
1. Baku
Struktur yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa indonesia baku, baik mengenai struktur kalimat maupun kata. Demikian juga, pemilihan kata/istilah, dan penulisan sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
Esai deskriptif. Esai jenis ini dapat meluliskan subjek atau objek apa saja yang dapat menarik perhatian pengarang. Ia bisa mendeskripsikan sebuah rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya.
Esai tajuk. Esai jenis ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Esai ini mempunyai satu fungsi khusus, yaitu menggambarkan pandangan dan sikap surat kabar/majalah tersebut terhadap satu topik dan isyu dalam masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis.
Esai cukilan watak. Esai ini memperbolehkan seorang penulis membeberkan beberapa segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe pribadi yang dibeberkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya memilih bagianbagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi tersebut.
Esai pribadi, hampir sama dengan esai cukilan watak. Akan tetapi esai pribadi ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri. Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Ia membuka tabir tentang dirinya sendiri.
Esai reflektif. Esai reflektif ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan kepada para cendekiawan.
Esai kritik. Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni, misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya seni. Kritik yang menyangkut karya sastra disebut kritik sastra.
Berbentuk prosa, artinya dalam bentuk komunikasi biasa, menghindarkan penggunaan bahasa dan ungkapan figur.
Singkat, maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu dua jam.
Memiliki gaya pembeda. Seorang penulis esai yang baik akan membawa ciri dan gaya yang khas, yang membedakan tulisannya dengan gaya penulis lain.
Selalu tidak utuh, artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis,
Memenuhi keutuhan penulisan. Walaupun esai adalah tulisan yang tidak utuh, namun harus memiliki kesatuan, dan memenuhi syarat-syarat penulisan, mulai dari pendahuluan, pengembangan sampai ke pengakhiran.
Mempunyai nada pribadi atau bersifat individu, yang membedakan esai dengan jenis karya sastra adalah ciri personal. Ciri personal dalam penulisan esai adalah pengungkapan penulis sendiri tentang pandangannya, sikapnya, pikirannya, dan kepada pembaca.
N. Langkah-langkah membuat Esai
Menentukan tema yang menarik.
Melakukan research ( Penelitian ) pengumpulan bahan
Membuat outline ( garis besar)
Memberikan judul dalam esai tersebut
Memulai untuk menulis esai
Memperhatikan pemilihan kata
O. Contoh-contoh Kritik Dan Esai
Contoh Kritik
Kebangkitan Tradisi Sastra Kaum Bersarung
Penulis: Purwana Adi Saputra
Selama ini, entah karena dinafikan atau justru karena menafikan fungsinya sendiri, kaum pesantren seolah tersisih dari pergulatan sastra yang penuh gerak, dinamika, juga anomali. Bahkan, di tengah-tengah gelanggang sastra lahir mereka yang menganggap bahwa kaum santrilah yang mematikan sastra dari budaya bangsa. Di setiap pesantren, kedangkalan pandangan membuat mereka menarik kesimpulan picik bahwa santri itu hanya percaya pada dogma dan jumud.
Mereka melihat tradisi hafalan yang sebenarnyalah merupakan tradisi Arab yang disinkretisasikan sebagai bagian dari budaya belajarnya, telah membuat kaum bersarung ini kehilangan daya khayal dari dalam dirinya. Dengan kapasitasnya sebagai sosok yang paling berpengaruh bagi transfusi budaya bangsa ini, dengan seenaknya ditarik hipotesis bahwa pesantrenlah musuh pembudayaan sastra yang sebenarnya. Kaum bersarung adalah kaum intelektualis yang memarjinalkan sisi imaji dari alam pikirnya sendiri. Pesantren adalah tempat yang pas buat mematikan khayal. Pesantren adalah institut tempat para kiai dengan
Contoh Esai
Perda Kesenian dan Rumah Hantu
Oleh: Teguh W. Sastro
Beberapa waktu lalu Dewan Kesenian Surabaya (DKS) melontarkan keinginan agar Pemkot Surabaya memiliki Perda (Peraturan Daerah) Kesenian. Namanya juga peraturan, dibuat pasti untuk mengatur. Tetapi peraturan belum tentu tidak ada jeleknya. Tetap ada jeleknya. Yakni, misalnya, jika peraturan itu justru potensial destruktif.
Contohnya jika dilahirkan secara prematur. Selain itu, seniman kan banyak ragamnya. Ada yang pinter (pandai) dan ada juga yang keminter (sok tahu). Oleh karenanya, pertentangan di antara mereka pun akan meruncing, misalnya, soal siapa yang paling berhak mengusulkan dan kemudian memasukkan pasal-pasal ke dalam rancangan Perda itu.
Sejauhmana keterlibatan seniman di dalam proses pembuatan Perda itu, dan seterusnya. Itu hanya salah satu contoh persoalan yang potensial muncul pada proses pembuatan Perda itu, belum sampai pada tataran pelaksanaannya. Hal ini bukannya menganggap bahwa adanya peraturan itu tidak baik, terutama menyangkut Perda Kesenian di Surabaya. Menyangkut sarana dan prasarana, misalnya, bolehlah dianggap tidak ada persoalan yang signifikan di Surabaya. Akan tetapi, bagaimana halnya jika menyangkut mental dan visi para seniman dan birokrat kesenian sendiri?
Dalam menyusun kritik, ada beberapa hal yang harus dipegang oleh kritikus (penulis kritik). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
Penulis kritik (kritikus) harus benar-benar membaca atau mengamati karya yang akan dikritik.
Kritikus harus membekali diri dengan pengetahuan tentang karya yang akan dikritisi.
Kritikus harus mengumpulkan data-data penunjang dan alasan logis untuk mendukung penilaian yang diberikan.
Kritik yang disampaikan tidak hanya mengungkap kelemahan, tetapi harus seimbang dengan kelebihannya.
Jika diperlukan, kritikus menggunakan kajian teori yang relevan untuk mendukung penilaiannya.
Marilah kita lihat kembali kalimat-kalimat kritik, serta kalimat yang mengandung penilaian kelebihan dan kekurangan karya, pada teks ”Capaian Eksperimen Lelaki Harimau” di atas. Kalimat-kalimat kritik dalam teks tersebut didominasi oleh kelebihan novel terebut. Dalam mengungkapkan kelebihannya, kritikus melengkapinya dengan data atau alasan yang logis.
Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Pemanfaatan –atau lebih tepat eksplorasi–setiap kata dan kalimat tampak begitu cermat dalam usahanya merangkai setiap peristiwa.
Pada kutipan di atas, kritikus menilai keunggulan cara penceritaan novel Lelaki Harimau disertai data pengguaan kata-kata dan kalimat dilakukan sangat cermat. Kalimat-kalimat yang digunakan dapat membangun peristiwa dalam novel tersebut.
Perhatikan pula bagaimana kritikus menilai kelebihan novel dilihat dari alurnya seperti terbaca pada kutipan berikut ini.
Di antara rangkaian peristiwa yang dibangun dan dihidupkan oleh setiap tokohnya, menyelusup pula mitos tentang manusia harimau, potret bersahaja masyarakat pinggiran, dan keakraban kehidupan mereka. Sebuah pesona yang disampaikan lewat narasi yang rancak yang seperti menyihir pembaca untuk terus mengikuti kelak-kelok peristiwa yang dihadirkannya.
Selain mengupas kelebihannya, teks kritik tersebut juga menyampaikan kelemahan novel Lelaki Harimau seperti tampak pada kutipan berikut ini.
Tentu saja, cara ini bukan tanpa risiko. Rangkaian peristiwa yang membangun alur cerita, jadinya terasa agak lambat. Ia juga boleh jadi akan mendatangkan masalah bagi pembaca yang tak biasa menikmati kalimat panjang.
C. Rangkuman Materi
Esai karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.
Kritik: tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya.
Bacalah kutipan novel Laskar Pelangi berikut ini, kemudian buatlah kalimat kritiknya!
Bab I:
Sepuluh Murid Baru
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
”Sembilan orang . . . baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu...,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
”Kasihan ayahku ....”
Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
”Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli .....”
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orang tua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orang tua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta¬ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orang tua menda~ arkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orang tua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena ~rasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.
Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada penda~ ar baru. Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orang tua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu, SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam¬diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orang tua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
”Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.
Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anakanaknya bahwa mereka memang sebaiknya didasarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orang tua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini.
”Baru sembilan orang Pamanda Guru ...,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.
Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orang tua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orang tua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa.
Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama, Assalamu’alaikum, seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang¬goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya. Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan. ”Bapak Guru ..., ” kata ibunya terengah-engah.
”Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku .....
Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
”Genap sepuluh orang ...,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
Bapak? Mengapa Bapak segan menatap aku? Anakmu sendiri. Dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan ini telah kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya. Sementara itu, di belakang terus mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia masih kenal benar siapa-siapa yang menjemputnyatetangga-tetangganya. Ada yang dulu menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan menggendongnya sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. Ada yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara sebentar ia dengar kata “Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro Putri!” kata itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya. Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap olehnya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu!
Soal:
Jelaskan pandangan penulis dalam penggalan tersebut!
Buatlah kritik terhadap penggalan karya tersebut!
Buatlah esai terhadap penggalan karya tersebut!
Jawaban:
Pandangan penulis terhadap permasalahan di atas adalah adanya pandangan terhadap kesetaraan yang sudah saatnya disetarakan.
Kritik sesuai dengan penggalan tersebut adalah penghapusan feodalisme Jawa agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial.
Esai sesuai dengan penggalan tersebut adalah pandangan terhadap feodalisme telah mengiris dan meremas perasaannya. Hal tersebut menujukkan bahawa pandangan terhadap kaum ningrat yang sudah bergeser.
F. PENILAIAN DIRI
Tabel Refleksi Diri Pemahaman Materi
No
Pertanyaan
Ya
Tidak
1.
Apakah kalian telah memehami pengertian
kritik
2.
Apakah kalian telah memahami pengertian esai
3.
Apakah kalian memahami unsur kritik dan esai
(sastra dan nonsastra)
4.
Dapatkah kalian menuliskan kritik dari
kutipan sastra/ nonsastra
Post a Comment